Teknologi Batik, dari Ngrengreng hingga Nyoga
Patrawisa_Indonesia baru saja mendapat pengakuan dunia atas teknologi di bidang tekstil, yaitu teknologi batik yang pernah berkembang menjadi industri rakyat di Pulau Jawa. Teknologi batik mengikuti keris dan wayang yang sudah terlebih dahulu masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO. Teknologi batik adalah teknologi memproses kain dengan memberikan berbagai desain motif dan warna pada kain tersebut.
Teknologi batik di Jawa merupakan suatu contoh keberhasilan inovasi teknologi impor menjadi teknologi tradisional.
Teknologi batik bisa dipahami sebagai berikut. Sebuah teknologi dasar mencetak desain motif pada kain menggunakan bahan malam atau lilin (wax) diperkirakan tiba di Nusantara, khususnya Jawa pada abad ke-12 dari Kalingga, India. Canting, alat menggambar berbentuk seperti pulpen yang diisi lilin panas, mungkin datang bersama teknik batik dari India pula. Selain kedua hal itu, seluruh teknologi membatik adalah hasil inovasi orang di Jawa. Begitulah Sahari Besari menulis dalam buku Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi.
Sebut saja teknologi mencuci kain dan menggodok dengan minyak, menggambar desain motif dengan canting dan bahan lilin panas (ngrengreng), dan nembok; memberi warna biru (medel atau celep); membuang malam dari kain (nglorod atau ngerok); menutupi lagi bagian kain yang dipertahankan berwarna biru dengan canting (mbironi); memberi warna coklat (nyoga); kembali proses nglorod; membersihkan sisa bahan lilin dan melipat kain. Pada kira-kira tahun 1850, revolusi teknologi batik terjadi. Kala itu, orang di Jawa menginvensi stempel cap (printing) yang terbuat dari perunggu.
Membatik semula bukanlah industri. Ia adalah bentuk kerajinan tangan rumah tangga yang biasa dilakukan perempuan di perkotaan. Pada masa lampau, membatik biasanya dikerjakan di rumah pembesar Jawa, kaum ningrat. Dalam kisah pengalamannya mengunjungi Istana Sultan Agung pada 1606, Rijckloff van Goens menyebut bahwa ia melihat 4.000 perempuan yang sedang membatik di sana. Pada awal abad ke-19, membatik berkembang menjadi industri kerajinan rakyat. Ini terjadi di Kerajaan Jawa, yang semula adalah kerajinan rumah tangga.
Di Jawa, industri batik bisa ditemukan di Cirebon, Indramayu, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Pekalongan, Semarang, Juwana, dan Lasem. Tentu saja, Yogyakarta dan Surakarta menjadi pusat batik konservatif, yaitu motif klasik dengan warna biru dan coklat soga. Selain di Yogyakarta dan Surakarta, industri biasanya dimiliki oleh kaum Tionghoa, sementara para pekerja adalah pribumi.
Industri batik mengalami surut pada masa PD II karena kesulitan mendapatkan bahan. Di Batavia, tercatat bahwa tokoh Tionghoa berperan di Indonesia (Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia). Ia adalah Lim Hiong Tjheng. Awalnya, ia hanyalah pekerja di pabrik batik di Palmerah pada sekitar 1924. Namun, ia kemudian malah memiliki pabrik batik sendiri bernama Hajadi dan hingga kini masih beroperasi.
Sumber : Dari berbagai sumber.
Label:
Sejarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar